Wong Cilik Merindukan Keadilan
“Keadilan Tidak Harus Berpihak Pada Wong Besar Saja”
Hukum dirancang dan dirumuskan untuk mengatur dan menjaga stabilitas dalam hidup bernegara. Adanya hukum, diharapkan segala ucap dan tindak-tanduk dalam berkehidupan berbangsa menjadi lebih teratur dan terarah. Meski kesesuainanya masih meninggalkan penyesalan. Fenomena ketidakberpihakan hukum kepada wong cilik ramai terjadi di lapangan, tidak jarang wong cilik yang awam hukum di manfaatkan dan dipolotisir bahkan dikuras hartanya dengan menakut-menakuti bahwa hukum akan menjerat mereka kaum wong cilik.
Pencuri sandal jepit bisa dipidana dengan hukuman yang cukup lebih lama, dan proses menuju persidangan tidak memakan waktu lama. Berbeda dengan kasus hukum yang menimpa para perampok uang negara, tepatnya KORUPTOR. Mereka melanggar hukum, namun seolah prosesnya diperlambat, bahkan tidak jarang sampai berlarut-larut dalam penanganan dan prosees hukumnya. Sempat terjadi, tersangka kasus korupsi mendapat perlakuan yang istimewa di dalam tahanan. Berbeda dengan wong cilik yang terkena dengan pidana hukuman penjara karena mencuri onderdil kendaraan bermotor. Proses hukumnya sangat cepat, bahkan di tahanannya pun tidak jarang mendapat perlakuan yang tidak diinginkan. Jika tidak percaya, silakan main ke Lembaga Penahanan terdekat.
Seiring dengan tuntutan reformasi yang tuntutan paling penting adalah reformasi dibidang hukum, yang bermuara pada tuntutan agar pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah mewabah di Indonesia dapat dilakukan. Puncak dari tuntutan tersebut melahirkan instrumen hukum dalam rangka memberantas korupsi yang terlihat pada Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tap MPR tersebut telah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya dan terakhir adalah lahirnya UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai instrumen hukum lain yang diarahkan untuk penegakan hukum.
Harus diakui kenyataannya sampai saat ini berbagai instrumen hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi. Kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime) - penanganannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa dalam bingkai due process of law, tidak dilakukan dengan cara konvensional.
Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya mendasarkan instrumen hukum yang ada, akan tetapi harus didukung oleh kemauan politik yang kuat dari semua cabang kekuasaan Negara (eksekeutif, legislatife dan yudikatif). Tidak dapat dipungkiri korupsi terjadi berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh kekuatan politik seperti ungkapan Lord Acton power tend to corrupt and absolutely power tends to corrupt absolutely.
Dengan adanya intstrumen hukum yang sudah memadai saat ini, mestinya pemberantasaan KKN relatif lebih mudah. Hanya saja penyelesaiannya sangat tergantung pada political will. Pemberantasan korupsi hanya akan tercapai manakala kekuasaan politik dan penegak hukum dipegang oleh orang yang punya integritas dan keberanian. Berbagai kasus yang melibatkan pejabat publik yang tidak jelas ujungnya tidak saja melecehkan hukum akan tetapi menghina rasa keadilan masyarakat. Karena itu setiap aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang sama untuk memberantas korupsi, meminjam intilah Satjipto ketika seorang aparat penegak hukum menangani kasus korupsi dia tidak boleh datang dengan netral tetapi harus datang predesposisi tertentu dengan semangat untuk memberantas korupsi. Dengan demikian penegakan hukum akan menyentuh kepastian dan keadilan bagi masyarakat.
Korlip Jabar
A. Jajang Sugiarto
“Keadilan Tidak Harus Berpihak Pada Wong Besar Saja”
![]() |
| A. Jajang Sugiarto (Korlip Jawa Barat) |
Hukum dirancang dan dirumuskan untuk mengatur dan menjaga stabilitas dalam hidup bernegara. Adanya hukum, diharapkan segala ucap dan tindak-tanduk dalam berkehidupan berbangsa menjadi lebih teratur dan terarah. Meski kesesuainanya masih meninggalkan penyesalan. Fenomena ketidakberpihakan hukum kepada wong cilik ramai terjadi di lapangan, tidak jarang wong cilik yang awam hukum di manfaatkan dan dipolotisir bahkan dikuras hartanya dengan menakut-menakuti bahwa hukum akan menjerat mereka kaum wong cilik.
Pencuri sandal jepit bisa dipidana dengan hukuman yang cukup lebih lama, dan proses menuju persidangan tidak memakan waktu lama. Berbeda dengan kasus hukum yang menimpa para perampok uang negara, tepatnya KORUPTOR. Mereka melanggar hukum, namun seolah prosesnya diperlambat, bahkan tidak jarang sampai berlarut-larut dalam penanganan dan prosees hukumnya. Sempat terjadi, tersangka kasus korupsi mendapat perlakuan yang istimewa di dalam tahanan. Berbeda dengan wong cilik yang terkena dengan pidana hukuman penjara karena mencuri onderdil kendaraan bermotor. Proses hukumnya sangat cepat, bahkan di tahanannya pun tidak jarang mendapat perlakuan yang tidak diinginkan. Jika tidak percaya, silakan main ke Lembaga Penahanan terdekat.
Seiring dengan tuntutan reformasi yang tuntutan paling penting adalah reformasi dibidang hukum, yang bermuara pada tuntutan agar pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah mewabah di Indonesia dapat dilakukan. Puncak dari tuntutan tersebut melahirkan instrumen hukum dalam rangka memberantas korupsi yang terlihat pada Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tap MPR tersebut telah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya dan terakhir adalah lahirnya UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai instrumen hukum lain yang diarahkan untuk penegakan hukum.
Harus diakui kenyataannya sampai saat ini berbagai instrumen hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi. Kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime) - penanganannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa dalam bingkai due process of law, tidak dilakukan dengan cara konvensional.
Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya mendasarkan instrumen hukum yang ada, akan tetapi harus didukung oleh kemauan politik yang kuat dari semua cabang kekuasaan Negara (eksekeutif, legislatife dan yudikatif). Tidak dapat dipungkiri korupsi terjadi berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh kekuatan politik seperti ungkapan Lord Acton power tend to corrupt and absolutely power tends to corrupt absolutely.
Dengan adanya intstrumen hukum yang sudah memadai saat ini, mestinya pemberantasaan KKN relatif lebih mudah. Hanya saja penyelesaiannya sangat tergantung pada political will. Pemberantasan korupsi hanya akan tercapai manakala kekuasaan politik dan penegak hukum dipegang oleh orang yang punya integritas dan keberanian. Berbagai kasus yang melibatkan pejabat publik yang tidak jelas ujungnya tidak saja melecehkan hukum akan tetapi menghina rasa keadilan masyarakat. Karena itu setiap aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang sama untuk memberantas korupsi, meminjam intilah Satjipto ketika seorang aparat penegak hukum menangani kasus korupsi dia tidak boleh datang dengan netral tetapi harus datang predesposisi tertentu dengan semangat untuk memberantas korupsi. Dengan demikian penegakan hukum akan menyentuh kepastian dan keadilan bagi masyarakat.
Korlip Jabar
A. Jajang Sugiarto

Tidak ada komentar:
Posting Komentar